Rabu, 28 Januari 2015

Aku adalah Asu A^A

Sehabis letih menangisi sunyian sepi, melepas lelah dipapah ucapanku yang busuk. Aku ingin membisik kesekian kalinya kepada mu "maafkan aku. Dan senantiasa kuulang-ulang, menerka hatimu yang telah rapuh di oleh karena kebodohanku.

Detik-detikku ini kuisi dengan penyesalan, memaki diri sendiri, aku merenung melamun sejadi-jadinya". Celoteh hatiku kepada malam. Sambil tertawa, aku bergumam, "aku adalah asu."

Kuterus-terangkan yang sebenarnya, sebagai rasa yang teramat berharga, aku begitu menyayangimu. Mungkin kamu tidak, tapi tidak apa.

Atas kecerobohanku, aku bagai burung terbang meluapi angkasa raya. Mencari tafsir ke sana sini. Sekadar untuk mengerti tentang dirimu. Sekadar mengetahui bahwa dirimu benar-benar milikku. Ah, tapi rupanya anggapanku sedikit meleset, mungkin dikarenakan aku adalah rendahan yang tidak bertuan.

Yaa Allah, akankah kemesraanku ini sampai disini? Adakah kesempatan barang sesaat untuk aku merajut kembali? Runcingnya anyir hati ini seolah telah rapuh Tuhan. Aku disapa oleh kebodohan diriku sendiri. Tuhan bimbinglah aku.

Beberapa menit telah berlalu, menghilir dari kata2 ku yang tidak seharusnya kuutarakan. Canda ku begitu keji, dan aku tidak tahu, karena ketololanku. Mohon maaf, aku mohon maaf, aku berjanji padamu akan kututup pintu tawaku, asal kau maafkan aku.

Kalau saja malam ini ada dirimu, pastilah bintang-bintang akan tertawa menghinaku. "begitu bodoh, tidak seharusnya aku samakan bidadari dengan mahluk bumi, harusnya aku mengangkat derajatmu bukan malah merendahkanmu." Tapi apalah dayaku, aku ini hanya kecoak kecil, bahkan akulah anjingnya. Manalah mungkin sejenis binatang hina sepertiku sanggup membuka harapan baru untukmu.

Kini mesrakupun menjadi berbadan dua, satu untuk dirimu dan satu lagi untuk keagunganmu. Dan untukku, biarlah tetap dalam kedukaan. Walau tak sepadan denganmu, tak mengapa, selagi aku melakukan dengan cinta dan setia. Barangkali hal ini akan menjadi kebahagiaanmu. Begini lah seharusnya kutempatkan diriku. Seperti yang pernah kukatakan, "aku lebih pantas menjadi sendal, yang melindungi kakimu dari duri" kalaupun toh aku ingin melindungi seluruh jiwamu, mana mungkin. Karena aku tak lebih dari seekor anjing yang mengucurkan mugholadhoh-mugholadhoh. Aku sadar, dan sangat sadar. Tapi ketulusan cintaku, selalu ingin mengantar lelap dalam tidurmu.

Sayang... "Tak masalah, kau akan menyebutku anjing, babi, atau lebih parah dari itu, selagi kau tahu bahwa aku rela melakukan apa saja demi kamu. Tentu, aku akan bahagia karena apa yang aku lakukan adalah sebab cintaku yang menyuruh untuk berbuat begini dan begitu, tapi bukan niat untuk mencela dirimu".

Sentuhan angin malam mengantarku untuk mengingat memori kecil saat bermesraan denganmu. Tapi kini, bau amis birahiku telah terpanggang oleh api kemarahanmu. Laksana petir memecah hujan, seperti matahari menangisi cahaya malam. Kau menangisi hal ini (A^A), sungguh maafkan aku. Mulai detik ini, akan kuganti aku adalah ASU. Aku tidak menyesal, aku tidak marah, karena memang aku adalah ASU.

Jam menunjukkan hampir pukul 12.00. Sementara aku kehilangan jejak untuk memapahmu. Dan para bintang menertawai ketololanku. "Aku memang asu"

Aku tahu, kau memendam sakit karena lidahku, lidah anjing rendahan yang banyak najis, yang akan mengotori kemuliaanmu. Pantaslah kalau aku tak disapa, tak dipangku dan tak disayang-sayang, karena ku tahu, "aku adalah asu"

Aku hanya berdiam, pikiranku menari-nari, sekedar mengingatmu menyentuhmu dengan pasrah, tapi aku tak berani. Kau tahu mengapa? Karena aku lebih hina dari pada asu.

Kini malam telah berduka, aroma lagu rindu perlahan berganti. Bayanganmu menjauhi diriku, karena asu tak pantas menyanding elok jiwamu. dan aku kembali diam dalam bahasa. Tak berkalimat dalam makna. Karena aku hanya mampu berkata, "kamu berderajat tinggi sedangkan aku adalah asu"

Duhai malam, ijinkan aku bertanya, adakah seekor asu merasa gundah, dan gelisah? Melihat wanita kesayangannya telah berubah secepat kilat. Bagai petir mengukir nasib. Dan ia hanya bisa mengobati kesakitan diri kekasihnya. Dan tahukah kau malam? Ia tetap rela menyapa tanpa dipinta. Walau ia hanya mahluk rendahan penjaga pintu. Apapun akan dilakukannya. Siapalah dia? Dialah aku yang tak lebih tinggi dari seekor asu.

Kini semuanya menjadi berbeda. "Baiklah ! Mulai saat ini aku adalah asu, dan kau bidadari yang agung" aku tahu diri, bahwa aku ditakdirkan hidup rendah dan jauh lebih rendah dibawah telapak kakimu.

Apa hendak dikata, semuanya telah begini. Jika kau tahu, Aku hanya ingin membeli cintamu dengan keiklasan, kesetiaan dan kepercayaanku.
Tapi kini Mesraku berteman durja membawa malapetaka.

Andai kau tak menyintaku, aku tak mengapa, tapi berilah aku kesempatan tuk menjadi asu yang menjagamu. Walau tidak bisa memelukmu, paling tidak, aku bisa kembali memandang dan melindungimu. Meski aku tak berarti. Aku ingin tetap menjadi permata air kehidupan untuk dirimu.

Bersama tusukan dingin malam dan rapuhnya gelap mengganti terang. Aku berkata kepada diriku sendiri. Meski tak lagi didengar oleh mu "duhai kasih.., sejuta maaf ku luluhkan untukmu, aku melepuh karena tak menakar yang keluar dari lidahku. Oh...sayang, seribu malu kutumpahkan untukmu, aku letih memikirkan diriku yang hina ini".

Inilah diriku, yang hanya berteman bayang cahaya malam. Jarum waktu terus menjulur ke arah jam 01.00 WIB. Kerinduanku padamu hanya bisa kupendam hingga aku menangis, menahan keperihan yang begitu mendalam. Kucoba menahan air mata yang seakan-akan ingin berjatuhan tiada terkira. Kupeluk erat bayangmu, tapi sekejap kemudian menghilang.

Aku berkata, "Jika kau pergi, bagaimana dengan kita? mereguk indahnya kebersamaan, memadu kasih, manisnya bercanda ria dengan cinta sejati" Akankah ini harus kusimpan lagi, dan aku kembali sendiri.

Aku ini hanya manusia, tapi tak lebih tinggi dari asu, jika kau tahu kekuatanku saat ini terbatas.
Hanya TUHAN yang tahu berapa banyak airmata yang aku lepaskan karena merasa kan kesedihan yang dalam yang tak mampu aku elakkan, setiap perkataan yang hadir padaku membuat aku tidak mampu membela diri. Semuanya hanya membuatku terdiam. Pada akhirnya, sekalipun AIR MATA selalu menyertai, aku berani katakan, "aku rela menderita asal kau bahagia" Maafkan aku kasih, maafkan.
(Aku adalah Asu, Jakarta, Jumat, 11 April 2014, Bank Wimbo)